Nizamuddin, BHAY MURSALIN
Munas : 2 - 4 Mei 2025
Hijrah dan Nusrah: Menyambung Nafas Dakwah Nabi
Dalam gelombang zaman yang terus berubah, di tengah dunia yang kian jauh dari nilai-nilai suci, para pekerja dakwah tak pernah kehilangan arah. Mereka berjalan dengan satu kompas yang pasti—usaha Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam jalan dakwah yang penuh berkah ini, terbentang dua tertib agung: khuruj (keluar di jalan Allah) dan maqomi (kerja dakwah setempat). Dua jalan yang jika dilalui dengan niat yang benar, akan menjadi sebab turunnya pertolongan dan cinta Allah SWT
Maulana Ilyas rahimahullah berkata dalam malfuzat-nya, bahwa umat Islam terbagi menjadi dua golongan: Muhajirin dan Anshor. Maka, setiap Muslim hari ini harus bertanya kepada dirinya sendiri: Di manakah aku berdiri? Apakah aku seorang yang berhijrah membawa agama, ataukah aku penolong agama?
Jika bukan Muhajirin, maka jadilah Anshor. Jika tidak menjadi keduanya, maka siapakah engkau?
Zaman ini menyimpan sebuah ironi: agama telah sempurna, namun kehidupan manusia masih jauh dari kesempurnaan itu. Ribuan masjid kosong, jutaan Muslim tidak mengenal syahadat, bahkan tidak tahu apa itu shalat. Yang tahu pun, banyak yang tidak mengamalkannya. Sementara itu, khamr dan judi menjadi kebiasaan yang menghancurkan jiwa umat.
Apakah agama kurang? Tidak. Yang kurang adalah usahanya.
Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, agama tidak hanya diajarkan—ia dihidupkan. Para sahabat hidup seratus persen di atas usaha Nabi. Maka, tidak heran bila agama menyinari setiap sudut kehidupan mereka. Sedangkan kita hari ini, meninggalkan usaha itu. Kita mengeluh pada keadaan, pada lingkungan, bahkan pada sesama—padahal seharusnya kita mengeluh pada diri sendiri yang lalai dari usaha dakwah.
Jika ingin agama hidup kembali, maka hidupkanlah usaha Nabi.
Lihatlah sekeliling. Ada negeri yang masjid-masjidnya penuh amalan, namun lebih banyak yang sepi tanpa cahaya dakwah. Di satu tempat usaha agama kuat, di tempat lain hilang tanpa jejak. Maka, kerja kita bukan hanya menyiram yang telah tumbuh, tapi juga menanam di tanah tandus.
Kita susun barisan. Kita petakan: mana provinsi yang kuat, mana yang lemah. Provinsi yang kuat diberi amanah: bangkitkan yang lemah. Jika tak sanggup, maka kita minta bantuan dari negeri-negeri yang telah kokoh dengan kerja dakwah.
Inilah medan jihad kita hari ini.
Jamaah-jamaah dakwah harus dikirim bukan hanya ke tempat yang siap menerima (istiqbal), tapi juga ke tempat yang menolak, yang belum mengenal usaha agama. Jangan berharap sambutan, jangan mengharap penghormatan. Bawalah bekal sendiri, masak sendiri, bahkan beri makan orang-orang yang belum mengenal shalat. Kita datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai pelayan agama.
Fokus kerja bukan melompat-lompat, tapi mendalam dan tuntas. Satu kelompok masjid—12 hingga 25 masjid—ditangani selama 4 bulan penuh. Dari satu masjid, kita hidupkan shalat, taklim, jaulah, musyawarah. Hingga dari masjid itu lahir jamaah cash yang akan membawa cahaya ke tempat lain.
Jangan berpindah sebelum semua masjid dihidupkan. Jangan biarkan syaitan menyesatkan kita dengan langkah-langkah yang belum sempurna.
Jamaah harus bergerak terus menerus (mursalsal), tanpa putus. Sebelum satu jamaah selesai tugasnya, jamaah berikutnya sudah harus siap. Inilah sunnah Rasulullah. Inilah pula yang diamalkan oleh Sayyidina Umar. Ketika beliau lupa mengirim jamaah pengganti, para sahabat menolak pulang. Mereka berkata, "Wahai Umar, engkau lupa. Kami belum bisa pulang sebelum jamaah berikutnya datang. Itu sunnah Nabi!"
Apakah kita lebih tahu daripada para sahabat? Atau lebih paham dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Jika kita ingin melihat cahaya agama kembali menyinari bumi ini, maka kita harus kembali pada jalan itu: usaha dakwah, dengan tertib Nabi, dalam semangat sahabat, dan penuh pengorbanan.
Sekarang adalah saatnya kita bertanya: di manakah kita berdiri? Sebagai Muhajirin? Sebagai Anshor? Atau sebagai penonton dalam medan perjuangan ini?
0 comments:
Posting Komentar