Di medan perang yang membara, di bawah terik matahari yang membakar kulit, ada satu bendera yang tak rela disentuh tanah. Bukan karena kainnya, bukan karena warnanya, tapi karena bendera itu membawa nama mulia: Muhammad Rasulullah SAW.
Dialah Ja’far bin Abi Thalib — seorang pemegang panji kebenaran, saudara sepupu Nabi, sekaligus salah satu pahlawan agung dalam sejarah Islam. Saat tangan kanannya ditebas musuh, ia tidak tumbang. Dengan tangan kirinya, ia kembali menggenggam panji. Namun ketika tangan kirinya pun ikut terputus, ia tetap tak membiarkan bendera itu jatuh. Ia dekap bendera itu dengan kedua lengannya yang tersisa.
Mengapa?
Karena di balik kain itu, ia melihat wajah kekasihnya: Nabi Muhammad SAW. Dan ia tahu, selama bendera itu masih tegak, semangat umat takkan padam.
Tubuhnya ditikam, dilukai, ditusuk—delapan puluh luka mengoyak bagian depan tubuhnya. Tak satu pun dari belakang. Karena Ja’far tidak pernah membelakangi musuh. Ia tidak pernah mundur.
Saat tubuhnya yang bersimbah darah dibaringkan oleh para sahabat, seseorang menyodorkan air kepadanya. Nafasnya tersengal. Cuaca terik. Luka menganga. Namun ia hanya tersenyum lemah dan berkata:
“Aku puasa...”
Mereka mencoba membujuk, “Berbukalah hari ini... Kau bisa berpuasa di hari lain... Lukamu sangat parah...” Tapi Ja’far tahu, ini bukan tentang haus atau lapar.
“Aku ingin berbuka di surga,” katanya pelan. Dan benar. Ia pun berbuka—bukan dengan air dan kurma, tapi dengan kenikmatan surga dan ridha Tuhannya.
Salam dari Surga
Di waktu yang hampir bersamaan, di kota Madinah yang jauh dari medan perang, Rasulullah SAW duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba, beliau menengadahkan kepala ke langit, wajahnya bersinar, dan bibirnya menjawab salam:
وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Para sahabat terdiam. Mereka tahu, sesuatu yang besar sedang terjadi. Rasulullah terlibat dalam pembicaraan, namun dengan siapa?
Seseorang memberanikan diri bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang engkau ajak bicara?”
Rasulullah menjawab lembut, “Ja’far bin Abi Thalib datang menemuiku bersama jutaan malaikat...”
Seketika suasana menjadi hening. Lalu Rasulullah melanjutkan:
“Allah mengganti kedua tangannya dengan dua buah sayap. Sekarang ia dapat terbang ke mana pun ia suka di surga.”
Namun meski surga telah menyambutnya, Ja’far tidak lupa pada kekasihnya. Ia tidak langsung tenggelam dalam kenikmatan abadi. Ia datang lebih dulu ke Madinah, menemui Nabi SAW dan menyampaikan salam. Ia ingin menatap wajah yang membuat jiwanya tenang, ingin berada dekat dengan orang yang telah membimbingnya menuju cahaya.
Ia berkata:
“Aku ingin menyampaikan salam kepada kekasihku... Aku ingin berada dekat dengan Nabiku... Aku ingin melihat Rasul-Mu yang melaluinya aku memperoleh hidayah.”
Cinta Sejati Tak Pernah Mati
Inilah cinta Ja’far kepada Rasulullah. Cinta yang menolak menyerah, cinta yang tetap menggenggam bendera meski tanpa tangan. Cinta yang tidak layu meski tubuh telah dikoyak perang. Cinta yang membuat ruhnya mendahulukan salam kepada Nabi, sebelum ia terbang tinggi bersama malaikat.
Lalu di mana kita?
Apakah kita masih memeluk cinta yang sama?
Apakah hati kita masih bergetar saat mendengar nama Muhammad SAW disebut?
Apakah kita masih rindu untuk bershalawat, untuk menjadi umat yang dirindukan Nabi?
Mari, kita hening sejenak. Tundukkan hati. Hadirkan wajah mulia itu dalam bayangan kita. Lalu ucapkan dengan sepenuh cinta:
> اللهم صلّ على سيّدنا محمد، وعلى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallim.
Semoga hati kita tak pernah kehilangan rindu kepada Nabi Muhammad SAW.
Semoga tangan kita tetap kuat menggenggam panji, meski dunia mencoba melepaskannya.
Dan semoga, saat ajal menjemput, kita pun bisa berkata:
“Aku ingin berbuka... di surga.”
0 comments:
Posting Komentar